Senin, 05 Maret 2018

MENGENANG MUHAMMAD ZAINUDIN


Muhammad Zainudin,  lahir di Guningkidul.     April 1959 Dari pasangan H.  Djunari dengan HJ. Wardinah. Sejak umur satu tahun Zainudin kecil diajak orangtuanya Pak Djunari berjuang dengan mendidik anak-anak di sebuah desa pelosok tepatnya di dusun Ngenep Dadapayu Semanu Kabupaten Gunungkidul. Pada tahun-tahun itu sesuai keadaan perekonomian negara yang sedang carut marut, seorang guru mengajar di beberapa tempat selain di Ngenep yaitu di Cuelo Candirejo dan Petir Rongkop dengan gaji seadanya tidak bisa dijadikan penopang hidup keluarga.  Saat itu ibu Wardinah yang berasal dari kalangan keluarga yang lebih mampu dalam hal pangan karena orang tua ibu Wardinah adalah seorang perangkat desa yang menjabat sebagai kamitua  tentu soal pangan tidak banyak menjadi masalah.  Waktu itu Bpk Djunari sebagai guru muda bersama istri dan anak yang baru berumur 1 tahun diajak merantau (istilah jaman dulu) karena kendaraan waktu itu masih jarang ditemui sehingga dengan jarak kurang lebih 30 an kilometer harus jalan kaki menuju dusun Ngenep tersebut untuk mengajar murid2nya sehimgga waktu itu tinggal di rumah penduduk sekitar (mondok red.).
Waktu itu ibu Wardinah sedang hamil tua untuk calon anak yang nomer dua,  keterbatasan pangan dan hanya dengan modal gaji guru pada waktu itu,  sementara kehidupan di rumah yang ditinggal kan ibu Wardinah lebih mencukupi kebutuhan sehari2 dibanding di ngenep.  Beberapa bulan ini Wardinah bersama Zainudin kecil dan bayi yang masih berada di kandungan bisa bertahan,  namun dengan pertimbangan untuk anak dan bayi dalam kandungan tersebut  ibu Wardinah menggendong Zainudin kecil  diajak pulang ke rumah  tepatnya Dusun Grogol Kecamatan Paliyan tanpa seijin Pak Djunari, karena jika ijin dulu kemungkinan besar tidak akan diijinkan atau disuruh nunggu untuk diantar pulang. Dengan jalan kaki dengan keadaan hamil tua bisa dibayangkan betapa mulia nya perjuangan seorang ibu, menempuh jarak 30 an kilometer dengan bekal seadanya akhirnya sampe di rumah  dengan waktu tempuh seharian. Pak Djunari ditinggal berjuang sendirian di pelosok desa dengan segala keterbatasan.
Zainudin kecil yang seharusnya masih memperoleh manjaan dari orang tua terutama ibu,  harus rela berkurang perhatian nya karena adiknya telah lahir dan dalam kurang dari 11 tahun putra Bapak dan ibu Djunari menjadi  6 oramg.
Zainudin dibesarkan bersama adik-adiknya melalui pendidikan di lingkungan pak Djunari dengan keterbatasan materi.
Ada satu cerita yang selalu membuat terenyuh ketika zainudin kecil duduk di bangku SD kala itu sudah berlatih membantu orang tua untuk ke tegal, hutan untuk sekedar mencari rumput dan pekerjaan2 lainnya. Dan pada suatu saat Zainudin juga berjualan kerupuk dengan cara menjajakan  dari rumah ke rumah dari dusun ke dusun dan saat itu memang kerupuk merupakan makanan yang cukup disukai anak2 namun keadaan orang tua mereka belum tentu mampu untuk memberikan uang sekedar untuk membeli kerupuk,  suatu saat di desa tetangga Zainudin menjajakan kerupuk ada anak2 yang menangis minta dibelikan kerupuk namun nampaknya oramg tua tidak punya uang., dengan nada kesal orangtuanya memarahi Zainudin dan mengusir dengan menakut-nakuti memakai sabit,  waktu itu Zainudin nampak ketakutan dengan berlari sekuat tenaga dan pulang.  Dan untuk selanjutnya tempat tersebut tidak dilewati ketika menjajakan kerupuk. Setiap diceritakan meski penulis telah mendengar berkali-kali tetap saja merasa trenyuh.
Setelah lulus SD Zainudin melanjutkan ke PGA yang kemudian diubah menjadi SMP Muhammadiyah Playen,  selanjutnya sekolah di STM Negri wonosari jurusan bangunan.  Saat sekolah di STM Zainudin sudah dilatih mandiri dengan mondok di Masjid kepek tepatnya di samping rumah bapak Sabardi seorang penjahit ternama waktu itu,  di pondokan (kos gratis)  bersama adiknya Bahron Rosyid masak sendiri dan dari rumah hanya dibekali beras.
Suatu saat penulis juga ingat pesen bapak, kurang lebih pesannya :"  le nok bapak karo ibumu isone nyekolahke kowe kabeh mung tekan SLTA,  bare kui do nyambuto gawe nek arep kuliah do ragato dewe". Setelah lulus STM Zainudin masuk tamtama polisi yang gagah dan tampan dan merupakan kebanggaan adik-adiknya meski Zainudin berpangkat prajurit dua (strip merah satu),  ditugaskan di Polres Cilacap. Zainudin di Cilacap banyak kegiatan dengan pemuda dan pengajian remaja dan waktu itu beliau adalah jago baca Al-Quran sering mengikuti MTQ tingkat kabupaten dan propinsi jawa tengah meski di tingkat propinsi blm pernah juara,  meski seorang anggota polisi beliau kegiatan utama yang ditekuni adalah memperdalam ilmu agama sesuai pesen almarhum bapak Djunari disetiap kesempatan kepada putra2nya."  Le-Nok nangdi  wae kowe nang bidang opo wae kowe kudu mewarnai dan menonjolkan dalam hal agama ojo malah melu2 sik ora bener".
Penulis tidak ingat waktu itu gaji beliau berapa yang jelas setiap dimintai apa saja kebutuhan adik-adiknya Zainudin tidak pernah menolak,  hanya dijawab iya dan iya sesuai kemampuan beliau. Zainudin sangat sayang kepada adik-adiknya yang berjumlah 5 orang.
Dari 6 bersaudara Zainudin lah satu2nya yang belum pernah kuliah di perguruan tinggi.
Beberapa tahun kemudian Zainudin menikah dengan seorang perawat di RS Bethesda bernama Tantri Sukmayani Dan dikaruniai 2 orang anak mas Adinta dan Fina.  Setelah pindah ke jogja,  keluarga Zainudin menjadi tumpuhan sodara-sodaranya baik sekolah,  kuliah,  mau daftar polisi dan pekerjaan yang lainnya... Di rumah ketandan itu tidak pernah sepi dari sodaranya bukan saja sodara kandung tapi sodara jauh dan bahkan sodara yang hanya  kenal dan sudah dianganggap sodara. Semua di rumah keluarga Zainudin tinggal gratis dan bahkan makan gratis hanya yang diharapkan dari Zainudin adalah menolong sodara.
Penulis juga ikut dirumah beliau pas kuliah, numpang tidur,  makan dan juga mencukupi kebutuhan  sehari-hari.
Zainudin selalu menyayangi keluarga dan sodara2nya,  saat itu penulis ingat saat disuruh kerumah untuk mengambil uang kesanggupan, setelah sampe di rumah Zainudin minta tunggu sebentar untuk ambilkan uang dengan bersepeda onthel, ternyata ambil uangnya di pasar sepeda dengan menjual sepeda yang dinaikinya tadi dan beliau  pulang naik ojek dengan membawa uang yang dijanjikan tersebut.
Penulis juga ingat ketika Zainudin minta  doa restu akan mengikuti tes dari bintara ke perwira diingatkan oleh almarhum bapak Djunari "  yo le.. oleh melu tes perwira ning bapak ora sarujuk Nek ndadak nganggo model sogok menyogok duit mending rasah perwira ora popo ning ora dosa" .. Zainudin menjawab " nggih pak insyaalloh mboten ngangge model sik koyo ngoten niku modale namung doane bapak" dan benar saja bahwa  Zainudin  lolos jadi perwira tanpa model sogokan.
Pada tahun 2004 sebelum tsunami aceh di kepolisian ada program pengiriman tenaga polisi ke aceh karena waktu itu di Aceh masih sering terjadi konflik dengan GAM,  Zainudin berkeinginan untuk bisa mengikuti program tersebut dan mendaftar sekali tidak lolos karena kesehatan dan mencoba lagi akhirnya lolos dan menjalankan tugas di Aceh selama 9 bulan dan selesai beberapa hari sebelum kejadian tsunami hebat yang menelan banyak korban. Yang menarik bagi penulis salah satu pendorong keberangkatan Zainudin ke Aceh adalah agar bisa meringankan kebutuhan keuangan keluarga karena pada saat itu gajinya habis dipotong Angsuram bank,  dan dengan ikut ke Aceh akan memperoleh tunjangan selama berada tugas di Aceh.
Beliau (Zainudin)  adalah sosok yang ringan tangan (enthengan)  tidak pernah menjawab tidak bisa atau menolak ketika dimintai bantuan keluarga, sodara maupun sahabatnya.  Beliau suka bersilaturahim ke sodara, kerabat dan sahabat.
Saat masih aktif di kepolosian beliau yang menonjol pada diri beliau adalah dakwah dan dakwah,  dan pada suatu saat beliau sakit selama 20 Hari saatenjelang purna tugas,  beliau mempunyai keinginan (nadzar) untuk melaksanakan dakwah keluar. Selama 40 Hari, dan dengan niat yang besar dengan didorong keinginan yang kuat untuk mencari Ridho Alloh SWT maka keinginan beliau terwujud berdakwah selama 40 Hari kw beberaoa daerah antara lain jawa tengah, Batam,  Medan dan daerah-daerah lain beliau singgah. Dan saat 40 Hari terlampau dengan lancar.
Setelah keluar dakwah selama 40 Hari yang terakhir itu sosok Zainudin semakin terlihat bahwa beliau segala kegiatan dalam keseharian hanyalah ibadah dan ibadah....silaturahim dan memberi tauziahke mana2 setiap tempat yang beliau singgahi.  Puasa sunah, baca Al-Quran,  sholat malam merupakan kegiatan yang tidak pernah ditinggalkan beliau. Keluarga terutama istrinya memberikan dukungan penuh terhadap apa yang dilakukan beliau,  bahkan beliau mempunyai niat untuk keluar untuk berdakwah sekaligus mencari ilmu ke negeri JAUH,  Malaysia, India,  Pakistan dll dan terakhir di Makkah sekaligus naik haji.
Saat ibunda di rawat di rumah sakit beliau setia menunggui di rumah sakit kurang lebih selama 10 hari dan juga selalu menyempatkan waktu untuk ibu dan bapak mertua yang semuanya sudah tua dan sakit, dan disela-sela menunggui ibunda beliau selalu baca Al-Quran.
Namun kehendak Alloh memang berbeda seperti apa keinginan kita,  Alloh insyaalloh menyayangi beliau dengan dipanggil lah beliau menghadap Alloh saat orang2 kebanyakan sedang seperti penulis sedang lelap tidur beliau sholat malam subuh berjamaah,  mengisi tauziah dan diakhiri tadarus Al-Quran sampai akhirnya menghadap sang Khaliq (Sabtu pahing, 3 maret 2018)di Madjid Sabilul Huda Ketandan, Banguntapan,  Bantul.
Tujuan penulis insyaalloh bukan untuk RIYA' atau tujuan yang lain,  tujuan menulis ini hanya untuk mengenang beliau dan menjadi pelajaran berharga bagi penulis agar bisa meneladani jejak beliau dalam keistiqomahan dalam beribadah sampai akhir hayatnya.
Penulis dan sodara2 semua pasti mempunyai rasa sedih, haru sekaligus kehilangan beliau yang telah mendahului kita. Namun dalam hati kecil kita juga terbesit rasa bahagia bahwa beliau menghadap Alloh selagi beliau dalam keadaan suci dan sedang beribadah.
Penulis percaya bahwa kematian hanya Alloh semata yang tahu,  penyakit,  penderitaan serta kesakitan bukanlah menjadi tolok ukur kapan kita akan di panggil menghadap Ilahi.
Penulis mohon kepada sodara2 ku yang membaca tulisan ini, apabila ada kesalahan dalam saya menulis semata-mata karena daya ingat saya yang terbatas dan juga yang penulis alami dan amati terhadap beliau kakanda Alimarhum  Muhammad Zainudin, dan masih banyak lagi kenangan-kenangan yang indah,bahagia dan haru bersama beliau yang tidak sempat penulis tuangkan dalam tulisan ini.
Akhirnya marilah sejenak merenung dan berdoa semoga kita dapat mentauladani beliau dan semoga belau khusnul khotimah.... Aamiin yarrabal alamiin...

Yogyakarta 3-5 Maret 2018